Brainspotting ditemukan pada tahun 2003 oleh seorang psikoterapis, David Grand, Ph.D. Brainspotting kemudian menjadi metode yang diakui secara internasional dan tersebar di berbagai negara termasuk Indonesia. Penemuan David Grand tersebut bermula saat ia menangani kliennya yang merupakan seorang atlet ice skater. Di mana atlet tersebut mengalami hambatan dalam menguasai triple loop. Oleh karena itu, tujuan dari sesi yang dilakukan oleh David Grand adalah agar atlet bisa melakukan gerakan triple loop. Sesi yang dilakukan oleh David Grand adalah sesi mingguan yang sudah dilakukan selama satu tahun dengan durasi 90 menit per sesinya, menggunakan metode yang diapatasi dari Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR), yaitu Natural Flow EMDR. Teknik ini menggunakan gerakan mata yang lebih lambat guna menenangkan klien. David Grand juga memproduksi musik bilateral yang digunakan selama sesi dengan klien.
Suatu hari, saat menjalani sesi dengan atlet ice skater tersebut dengan menggunakan Natural Flow EMDR, klien merasa “stuck” dengan isi yang dimilikinya. Setelah sekitar satu menit, ketika jari David Grand melewati garis tengah hidung klien, mata klien tiba-tiba bergetar dengan kuat sehingga David memberhentikan jarinya di garis tengah hidung tersebut. Mata klien terpaku pada jari David beberapa saat. Klien menjelaskan bahwa ia menyaksikan gambaran trauma di masa lalunya yang awalnya David pikir trauma tersebut telah selesai sehingga tidak pernah dibicarakan lagi. Namun, ternyata proses ini terbuka kembali dan diproses hingga resolusi yang lebih mendalam. Setelah sepuluh menit, getaran mata yang “terkunci” perlahan menghilang.
Keesokan harinya klien tersebut melaporkan bahwa ia telah berhasil melakukan triple loop untuk yang pertama kalinya dan tidak pernah terjadi kesalahan lagi. Hal tersebut membuat David Grand tersadar bahwa metode baru telah ditemukan saat bersama kliennya. Setelah itu, David Grand mencoba mengobservasi setiap refleks klien yang ditemuinya terutama refleks pada mata. Setiap melihat ada refleks mata, ia menghentikan gerakan tangannya sehingga klien akan menatap tangannya yang berhenti dan kemudian David Grand akan mengobservasi dan menunggu reaksi klien. David kemudian menamai teknik ini dengan Brainspotting.
Dalam perjalanannya, David banyak sekali melakukan observasi terkait dengan bidang pandang (mata) dan juga melakukan diskusi dengan para terapis. David kemudian menemukan beberapa teknik penggunaan bidang pandang dalam memproses isu klien. Ia juga mengedepankan basic attitudes yang perlu dikuasai oleh praktisi brainspotting, yaitu dual attunement frame yang terdiri dari relational dan neurobiological attunement. Relational attunement berarti terapis brainspotting perlu menjalin relasi yang bersifat terapeutik dengan klien, tidak hanya empati namun juga perlu mengedepankan sikap-sikap seperti non-judgement, hadir secara penuh (present), witnessing, menerima kondisi klien apa adanya, serta percaya (trust) terhadap proses yang terjadi di dalam diri klien. Neurobiological attunement berarti terapis memanfaatkan bidang pandang (mata) dan juga sensasi tubuh guna memproses isu yang lebih mendalam, serta mengikuti dan menerima reaksi neurobiological klien. David juga mengedepankan brainspotting sebagai open model, artinya brainspotting dapat diintegrasikan dengan teknik lain yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan klien. Seperti yang kita ketahui bahwa banyak kasus-kasus psikologis yang beragam atau tidak bisa mudah ditangani secara generik. Terlebih lagi semakin klinis atau kompleks suatu isu maka dibutuhkan teknik psikoterapi yang semakin tailor made. Oleh karena itu, David juga mengedepankan brainspotting sebagai open model.